Bersekutu Menutup Lubang Ozon
Warga dunia kembali memeringati Hari Ozon Internasional pada tanggal 16 September 2008. Tema yang diangkat pada peringatan ozon tahun ini adalah, “Protokol Montreal: Kerja sama Global untuk Kemanfaatan Global.” (Montreal Protocol: Global Partnership for Global Benefits). Tema ini menjadi menarik, sebab ada kata “partnership” yang mengutamakan pendekatan kesejajaran dan kerjasama antarnegara dalam melindungi ozon. Lalu, seberapa besar peran nyata Indonesia dalam melaksanakan Protokol Montreal tersebut? Benarkah mulai menutupnya lubang ozon menjadi penanda keberhasilan program perlindungan ozon yang telah dijalankan serentak di seluruh dunia sejak 1987?
Lubang Ozon Menutup?
Ada hal yang cukup menggembirakan kala mencermati keadaan lubang ozon di Kutub Selatan selama sepuluh tahun terakhir. Data lubang ozon di Kutub Selatan (Satelit NOAA, Amerika Serikat) pada awal musim panas yaitu 5 Agustus menunjukkan bahwa pada 2006 lubang ozon memiliki luas sekitar sepuluh juta kilometer persegi. Pada tanggal yang sama tahun 2007, lubang ozon kian menyusut menjadi tujuh juta kilometer persegi. Lubang ozon bahkan menutup sempurna pada 5 Agustus 2008. Sementara data rata-rata sepuluh tahun (1998-2007) memerlihatkan, lubang ozon memiliki luas tiga juta kilometer persegi pada 5 Agustus. Luas lubang ozon maksimal rata-rata mencapai Sembilan juta kilometer persegi dan luas minimum adalah nol. Dengan kata lain, meski selama tiga tahun terakhir (2006-2008) lubang ozon cenderung mengecil, tapi nilai penurunannya belum signifikan.
Bagaimana keadaan lubang ozon selanjutnya di Bulan September? Pada 13 September 2008 tampak, lubang ozon memiliki luas 24 juta kilometer persegi. Pada 2007 tanggal yang sama, luang lubang ozon juga 24 juta kilometer persegi. Luasan ini masih lebih besar daripada tahun sebelumnya (2006) yakni sekitar 23 juta kilometer persegi. Bagaimana dengan tahun 1980? Pada 1979-1983, selama Agustus hingga September, nyaris tidak ditemukan lubang ozon (nol kilometer). Baru pada 1984, lubang ozon mulai terbentuk, pada awal Agustus luasnya sekitar tiga juta kilometer persegi. Peningkatan luasnya dari waktu ke waktu setelah itu menjadi signifikan hingga sekarang. Fakta terbentuknya lubang ozon ini kemudian menyita perhatian dunia. Maka warga dunia berkongsi membuat suatu kesepakatan dan lahirlah Protokol Montreal.
Peran IndonesiaProtokol Montreal ditengarai telah berhasil mengurangi penggunaan Bahan Perusak Ozon (BPO) hingga lebih dari 95 persen (Kementerian Lingkungan Hidup, 2008). Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Lingkungan Hidup melaksanakan Indonesia Country Programme sejak Februari 1994 dengan menyertakan berbagai pihak: pelaku industri pengguna BPO, asosiasi industri, lembaga pemerintah, Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), perguruan tinggi. Berdasarkan Country Programme, konsumsi BPO di Indonesia pada tahun 1992 adalah sebesar 6.567 ton, sekitar 0,03 kg per kapita tiap tahun. Indonesia termasuk dalam kelompok negara Artikel-5. Negara-negara yang tergolong dalam kelompok Artikel-5 masih diperbolehkan mengkonsumsi CFC dan Halon sampai tahun 2010. Akan tetapi Pemerintah Indonesia telah menetapkan untuk mempercepat penghapusan CFC menjadi akhir tahun 1997 dan Halon pada akhir tahun 1996 (Kementerian Lingkungan Hidup, 2008). Country Programme telah dilaksanakan dengan berbagai program, di antaranya: penguatan institusi dan koordinasi dengan pelaku industri, penerbitan aturan mengenai pembatasan dan pengawasan impor BPO, pemberlakuan insentif atau sebaliknya kepada pelaku industri yang dapat menghapus BPO, meningkatkan kesadaran masyarakat terhadap pentingnya ozon melalui seminar dan pelatihan, dan sebagainya (Keberhasilan Program Perlindungan Ozon, Kementerian Lingkungan Hidup, 2008). Namun, keberhasilan program ini masih belum terukur secara nyata. Karena evaluasi program yang dibuat Kementerian Lingkungan Hidup hanya pada rentang 1992-2002. Setelahnya, publik tidak bisa menemukan data tersebut. Pada laporan tersebut juga tidak ditemukan kuantitas terukur mengenai program-program yang telah dijalankan. Sehingga masyarakat menemukan kesulitan untuk mengetahui sejauh mana peran nyata Indonesia dalam mengurangi konsumsi BPO. Terakhir, efektivitas Country Programme perlu ditinjau ulang mengingat program ini menyedot dana hibah dari Multilateral Fund yang tidak sedikit. Penggunaan istilah dana hibah tersebut juga menimbulkan kerancuan, sekaligus agak menyimpang dari tema Hari Ozon tahun ini yang mengedepankan kerjasama dan hubungan yang saling menguntungkan. Jangan sampai “bersekutu menutup lubang ozon” berubah menjadi “mengeruk untung dengan menutup lubang ozon.”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar